Penulis: Nesa Wulandari, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia Angkatan 2021
Masih ingat reels Intagram “Jadi mahasiswa itu harus kritis”? Reels ini kemudian diplesetkan menjadi, “nyawa mahasiswalah yang kritis”. Reels tersebut seakan menjadi pemersatu nasib mahasiswa yang merasa kesulitan saat diharuskan menjadi seseorang yang kritis. Bahkan, reels tersebut telah dikomentari sebanyak 1.741 kali. Yang berkomentar, rata-rata mahasiswa.
Menjadi seorang mahasiswa memang harus kritis. Akan tetapi, kritis seperti apakah yang dimaksud? Apakah pemikirannya? Atau nyawanya? Pertanyaan tersebut muncul dikarenakan kata kritis memiliki makna ganda atau sering dikenal dengan kata ambigu. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritis memiliki beberapa makna: keadaan krisis, gawat, dan genting; atau bersifat tidak lekas percaya.
Keambiguan yang terdapat dalam kata kritis mengakibatkan beberapa orang mempelesetkan konteks kata tersebut. Konteks awal yang dimaksudkan pada kata tersebut mengarah ke pemikiran mahasiswa lalu bergeser ke konteks kehidupan.
Anggapan Keliru pada Istilah “Tugas”
Tugas seringkali dianggap mahasiswa sebagai beban. Bahkan mahasiswa kadang merasa tertekan dan kehilangan minat untuk belajar. Akan tetapi, jika ditinjau dari segi penamaan mahasiswa, menjadi mahasiswa berarti sudah berevolusi menjadi maha dari para siswa. Tentu cara belajar dari mahasiswa dan para siswa akan berbeda. Dengan perubahan tersebut, dapat diwajarkan jika beban tugas semestinya menjadi makanan sehari-hari untuk mahasiswa. Hal tersebut seharusnya dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa menjadi seseorang yang kritis secara pemikiran, bukan malah merasa dalam keadaan krisis.
Tugas-tugas yang diberikan kepada dosen seharusnya dianggap sebagai alat yang dapat mempertajam kekritisan mahasiswa dan bukan malah sebaliknya. Tugas tersebut akan terasa berat jika mahasiswa selalu menggunakan teknik SKS (Sistem Kebut Semalam) yang sudah tak lazim lagi di kalangan mahasiswa.
Teknik sistem kebut semalam juga akan semakin membatasi kekritisan mahasiswa dalam berpikir dan meningkatkan kekritisannya dalam kehidupan. Hal tersebut terjadi karena ketika mahasiswa menggunakan teknik SKS, maka beban tugas akan terasa lebih berat. Terlebih jika tugas yang deadline pada saat itu tak hanya satu. Sebaiknya, tugas yang diberikan oleh dosen dibuat secara berangsur-angsur agar tidak menumpuk. Dengan mengangsur tugas tersebut, juga akan semakin membuka peluang bagi mahasiswa untuk berpikir kritis.
Pengerjaan tugas memerlukan konsentrasi dan pemikiran yang kritis. Hal inilah yang diharapkan dalam konteks akademik di perguruan tinggi. Tugas yang diberikan seharusnya tidak lagi dianggap sebagai beban. Jika tugas itu dianggap sebagai beban, maka mahasiswa akan masuk ke dalam fase krisis. Semestinya juga, terdapat kajian dalam pengerjaan tugas, karena data-data yang didapatkan dalam proses pengerjaan tidak diterima begitu saja tanpa pertimbangan yang akurat.
Selain mahasiswa, semua manusia juga memerlukan pemikiran yang kritis. Karena sudah banyak informasi yang dapat diakses secara bebas, sedangkan informasi tersebut belum dapat diterima nilai kebenarannya secara penuh. Di sini mahasiswa seharusnya mampu mengambil peran agar informasi yang tersebar tak diterima mentah-mentah begitu saja oleh masyarakat. Informasi yang disebarkan melalui bahasa bukan hanya sekadar alat komunikasi. Menurut Eriyanto dalam buku Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, penggunaan kata-kata yang berbeda merupakan suatu praktik ideologi tertentu yang mempengaruhi penerimaan makna bagi khalayak.
Jika mahasiswa itu sudah menganggap tugas sebagai sesuatu yang dapat menyebabkan hidupnya berada dalam krisis bagaimana mungkin ia dapat menemukan informasi yang memiliki nilai kebenaran penuh?
Lalu, Mengapa Pemikiran Kritis Itu Perlu?
Kesadaran tentang pentingnya pemikiran kritis perlu ditanamkan pada setiap jiwa manusia, terutama mahasiswa. Dalam konteks pembelajaran di sekolah, setiap tahapan dalam pemecahan masalah memerlukan kemampuan berpikir kritis siswa. Jika siswa saja sudah dituntut untuk mampu berpikir kritis, apalagi mahasiswa yang sudah berada di atas tingkatan siswa.
Ditambah lagi, setiap kehidupan tidak akan terlepas dari permasalahan yang selalu memberikan suatu pendidikan. Maka, kesadaran kritis selayaknya dipahami sebagai kesadaran untuk tidak mudah percaya terhadap informasi yang didapatkan. Bukan dipelesetkan menjadi kesadaran bahwa saat diberikan tugas maka ia berada dalam keadaan krisis, gawat, dan genting.
Sudah selayaknya pendidikan diartikan selayaknya pendidikan yang berusaha mengembangkan pola pikir dan tingkah laku manusia. Pendidikan seharusnya bukan lagi diartikan sebagai usaha mendapat nilai tinggi dengan cara apapun, bahkan sampai melakukan joki tugas maupun skripsi.
Joki tugas apalagi skripsi tidak akan mempertajam kekritisan pemikiran mahasiswa meskipun kelak ia berhasil mendapatkan nilai yang bagus. Begitupun dengan AI (Artificial Intelligence) yang sudah memiliki begitu banyak versi. Joki dan AI hanya akan mempersempit pemikiran mahasiswa dan hasil tugas yang menggunakan pemikiran sendiri secara kritis akan berbeda dengan hasil tugas yang dijoki dan menggunakan AI.
Penanaman paradigma bahwa tugas itu bukan beban, akan membantu mahasiswa untuk menggunakan pemikirannya secara kritis. Pengerjaan tugas dengan tidak menggunakan teknik sistem kebut semalam juga akan meminimalisir keadaan krisis dalam mengerjakan tugas. Begitupun pengartian konteks kritis yang tidak akan diplesetkan lagi di kalangan mahasiswa. Oleh karena itu, diperlukannya kesadaran dari setiap individu bahwa berpikir secara kritis sangat dibutuhkan oleh semua orang, terutama mahasiswa.